Perubahan wajah Bulan (baca : fase) dalam perjalanannya mengelilingi Bumi memegang peranan penting bagi umat manusia, khususnya kaum muslim, yang menggunakannya sebagai patokan penanggalan Hijriyyah. Transisi dari satu lunasi (baca : bulan Hijriyyah) ke lunasi berikutnya berpatokan pada kenampakan Bulan sabit muda (alias hilaal) di langit barat beberapa saat setelah terbenamnya Matahari. Namun realitanya kaum muslim, khususnya di Indonesia, hanya melakukan pengamatan hilaal tiga kali saja dalam setahun Hijriyyah, yakni di awal Ramadhan, awal Syawwal dan awal Dzulhijjah, sementara pada sembilan lunasi lainnya tidak. Tak heran jika kontroversi selalu terjadi karena minimnya data ditambah dengan kekurangpahaman pengamat mengenai fenomena-fenomena langit yang bisa menyerupai kenampakan hilaal. Dr. T. Djamaluddin (2000) menunjukkan dari 38 laporan pengamatan hilaal dari berbagai pelosok di Indonesia yang dihimpun Depag dalam kurun waktu 1967 - 1997, 71 % diantaranya diragukan karena kemungkinan besar merupakan fenomena langit yang disangka hilaal oleh pengamat setempat. Sebenarnya, selain Bulan purnama dan Bulan mati, fase Bulan selalu muncul pada dua kesempatan berbeda. Bulan sabit, misalnya, selalu terlihat di kala maghrib pada tanggal-tanggal Hijriyyah muda, tetapi juga selalu nampak kala subuh pada tanggal-tanggal Hijriyyah tua. Hilaal juga serupa, padanannya dikenal sebagai Bulan sabit tua (alias waning crescent). Jika hilaal hanya bisa diamati saat maghrib sesaat setelah Matahari terbenam dalam beberapa jam pasca konjungsi, maka sabit tua pun hanya bisa diamati saat shubuh beberapa saat sebelum Matahari terbit dalam beberapa jam menjelang konjungsi. Meski secara fiqih sabit tua ini tidak punya arti apa-apa, nilai ilmiah sabit tua sama pentingnya dengan hilaal. Jika sabit tua turut diperhitungkan maka dalam setahun Hijriyyah secara teoritik tersedia 24 kesempatan melakukan pengamatan yang akan menambahkan data guna memperbaiki kriteria visibilitas hilaal menjadi lebih akurat dan tepercaya.
Sabit Tua Shaffar 1428 H
Sabit tua Shaffar 1428 H telah dicoba diamati dari Kebumen (7deg 40min LS 109deg 38min BT, timezone = GMT + 7, ketinggian rata-rata 21 m dpl) pada 18 Maret 2007 waktu shubuh. Pengamatan dilakukan dari lapangan kompleks Islamic Centre, yang terletak di pinggiran kota dan langsung berbatasan dengan lahan persawahan yang luas sehingga benar-benar gelap. Pandangan ke timur juga tidak diganggu oleh polusi cahaya yang berlebihan, baik dari padatnya pemukiman maupun dari menara telekomunikasi. Memang di horizon timur berjejer dua buah bukit (yang adalah horst dari patahan Kedungbener, patahan yang sama tuanya dengan patahan Opak di Bantul dan diduga merupakan generator gempa kuat di tahun 1857 yang sama kuatnya dengan gempa Yogya, merujuk catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), namun puncak keduanya (masing-masing Bukit Wonokromo di sisi utara dan Bulupitu di sisi selatan) nampak berketinggian 2 – 3 derajat sehingga tidak terlalu mengganggu medan pandang. Lagipula di antara keduanya terbentang tanah datar dengan bentangan selebar kurang lebih 20 derajat. Di atas tanah datar inilah, menurut Moon Calculator v6.0, Bulan (dan juga Matahari) akan muncul di pagi hari 18 Maret. Pengamatan dilakukan dengan mata telanjang. Sebagai alat bantu digunakan ponsel Siemens C45 yang dikalibrasi dengan standar waktu WIB lewat 103-nya Telkom. Ponsel ini juga menjadi 'senter' untuk membantu membaca dan menulis kala suasana masih gelap.Digunakan pula peta bintang sederhana bagi langit timur Kebumen untuk benda-benda langit yang lebih terang dari magnitude +1,0. Sebuah tabel tinggi Bulan versus waktu lokal juga disiapkan, diderivasikan dari Moon Calculator v6.0. Juga disiapkan sebuah pena dan selembar kertas. Untuk pemotretan digunakan digicam Sony Cybershot DSC U-20 2 MP yang tanpa zoom.
Elemen Bulan saat itu (dari Moon Calculator v6.0 yang diset pada kondisi toposentrik, tanpa refraksi atmosfer dan sunrise/moonrise geometrik) = Bulan terbit pukul 04:44 WIB; fase 2 %; magnitude visual -5,7; diameter cakram Bulan 33,12 menit busur, lebar sabit 0,6 menit busur dan umur Bulan 28 jam sebelum konjungsi. Sementara Matahari diestimasikan terbit pukul 05:49 WIB. Tiba di lokasi pengamatan pukul 04:54. Cuaca cerah, kondisi langit sempurna sehingga banyak sekali bintang yang nampak, bahkan termasuk selempang putih galaksi Bima Sakti. Jupiter, Mars dan Merkurius mudah sekali diidentifikasi. Semula direncanakan melalui ketiga planet ini akan ditarik garis imajiner (yang menggambarkan ekliptika) hingga memotong horizon timur, untuk memprediksi lokasi sabit tua akan muncul,yang bakalan ada di sekitar ekliptika. Namun hal ini tidak jadi dilakukan mengingat sabit tua sudah nampak meski masih samar.
Sabit tua mulai nampak jelas pada pukul 04:58, dengan bentuk lengkungannya yang khas. Menggunakan lingkaran jam imajiner, busur cahaya sabit tua ini berorientasi dari arah jam 4 hingga jam 9, atau setara dengan panjang busur (L) 150 derajat, tidak berbeda jauhdengan prediksi teori Schaeffer yang 151 derajat. Bagian sabit paling tebal ada di arah jam 7. Sabit tua nampak jelas hingga pukul 05:20 ketika ia mulai terlihat samar. Namun sabit tua baru benar-benar tidak bisa diamati lagi pada pukul 05:30. Sementara cakram Matahari mulai nampak menyembul dari horizon timur pada pukul 05:49 WIB.
Kapan sebenarnya sabit tua ini terbit tidak bisa diketahui (karena terlambat datang ke lokasi). Namun jika Moon Calculator v6.0 bisa dipercaya, selisih antara terbitnya sabit tua dengan Matahari adalah 65 menit. Menggunakan rumus Bernard Yallop, maka "best time" untuk melihat sabit tua ini adalah (5/9)*65 ~ 36 menit sebelum Matahari terbit atau pukul 05:13 WIB. Namun pengamatan ini mengkonfirmasi sabit tua baru benar-benar tidak nampak lagi hanya 19 menit sebelum Matahari terbit, ketika ketinggian Matahari 5 derajat di bawah horizon timur.
============
oleh: Ma'rufin S.
Anggota Ahli JAC
Mas dimana bisa ikut kegiatan pengamatan hilal? Mohon kontak saya di 08122731232 terimakasih
BalasHapus